Selasa, 11 November 2014

Cerpen : Siapa Mau Jadi yang Kedua?

Siapa Mau Jadi yang Kedua?
    Dasima seketika terjaga dari tidurnya yang tak nyenyak. Kegelisahannya semakin menggila. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Seorang laki-laki yang diam-diam menaruh hati padanya mulai menunjukan keseriusannya. Entah mengapa Dasima belum bisa membuka hati untuk laki-laki itu, Miun namanya. Dasima akan penuh kemewahan jika dia mau menjadi istri Miun. Namun Dasima bukanlah wanita yang memandang seorang laki-laki hanya dari isi dompetnya saja.
“Mak, semalam tidurku tak nyenyak” ucap Dasima.
“Mengapa tidurmu tak nyenyak” tanya Mak Buyung. Beliau adalah orang yang telah merawat    Dasima sejak kecil.
“Entahlah... aku sendiri bingung. Seolah ada kegelisahan yang aku rasakan setelah mendengar omongan tetangga sebelah, Mak.”
“Memangnya apa yang mereka katakan padamu? Sudahlah Dasima, omongan orang tidak perlu...”
“Bukan begitu mak.” Dasima memotong pembicaraan.
“Lantas bagaimana?”
“Mereka berkata bahwa Bang Miun menaruh hati padaku.”
“Miun? Laki-laki kaya, juragan kuda itu?”
“Iya mak, meskipun itu hanya kabar burung namun hal tersebut sangat mengganggu pikiranku.”
               Pagi-pagi sekali Mak Buyung pergi ke sawah. Dalam perjalanan dia bertemu dengan ibu-ibu yang hendak berbelanja ke pasar. Rupanya mereka ingin menanyakan langsung pada Mak Buyung tentang kabar bahwa Miun ingin menikahi Dasima.Tak banyak yang dapat dikatakan Mak Buyung, ternyata Dasima benar bahwa sekarang ini semua orang dipenuhi rasa ingin tahu tentang hubungan Dasima dengan Miun.                                                                                              
          Mak Buyung serasa mendengar petir menggelegar di telinganya, seolah-olah dalam hatinya dipenuhi banyak pertanyaan. “Mengapa Dasima tidak pernah mengakui kedekatan dirinya dengan Miun kepadaku? Bukankah dia hanya mengeluhkan omongan tetangga yang mengganggunya?” sebenarnya apa yang ada dipikiran Dasima hingga sekarang aku harus menjawab begitu banyak pertanyaan orang-orang.?” Begitulah pertanyaan yang ada dalam hati Mak Buyung. Dengan cepat Mak Buyung ingin menyelesaikan pekerjaannya di sawah, dia ingin segera bertemu dengan Dasima dan menceritakan semua yang hari ini dia alami.    
              Di pekarangan rumah, Dasima melakukan kegiatan yang rutin dia lakukan setiap hari, yaitu menyiram tanaman kesayangan Mak Buyung. Dengan tekun dia bersihkan setiap sudut pekarangan rumah agar sebelum Mak Buyung pulang dari sawah semuanya sudah bersih dan rapi. Tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki datang menghampirinya.
“Ehmm.. ada yang bisa di bantu? “
Seketika Dasima terpaku, tak bisa berkata apa-apa melihat sosok yang menyapanya.
“Kenapa Dasima? Apa aku mengagetkan mu?” tanya Miun ragu-ragu.
“Oh tidak bang, hanya saja aku tidak menyangka Bang Miun bisa datang kesini.”
“Begitu toh, aku hanya lewat sekitar rumahmu, kemudian tak sengaja melihatmu ada di luar rumah, lantas aku datang menghampiri mu tapi rupanya kau begitu terkejut.”
“Apakah terlihat bahwa aku begitu terkejut Bang?” tanya Dasima. Sembari mencairkan suasana.
              Hari mulai sore. Waktunya orang-orang kembali ke rumah masing-masing. Begitupun dengan Mak Buyung yang bergegas pulang ke rumahnya. Tanpa sengaja Mak Buyung melihat seorang laki-laki bersama Dasima. “Siapa dia?” mengapa sore-sore seperti ini ada tamu di rumahku?” gumam Mak Buyung. Semakin dekat langkah kakinya menuju rumah dan dengan sangat terkejut Mak Buyung melihat Miun sedang berbincang-bincang dengan Dasima. Kemudian...
“Assalamualaikum” Mak Buyung mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam” mereka berdua menjawab.
“Mak sudah pulang?” tanya Dasima.
“Iya, Mak sengaja pulang lebih awal” sambil menatap Miun “Rupanya ada tamu, kenapa tidak kau suruh masuk Dasima?” kemudian dengan sigap Miun menjawab pertanyaan Mak Buyung sebelum Dasima menjawab.
“Tidak apa-apa Mak, kebetulan saya lewat sekitar sini, kemudian melihat Dasima sedang membersihkan pekarangan lalu saya menghampirinya.” Jelas Miun.
Suasana hening mulai terasa, kemudian Miun memutuskan untuk berpamitan pulang pada Mak Buyung dan Dasima.
           Malam menyergap. Suara riuh katak terdengar begitu jelas, Dasima dan Mak Buyung makan malam dengan lauk seadanya, sepertinya tidak ada yang istimewa dari kehidupan mereka.
“Tadi rupanya kau begitu akrab dengan Miun, apa kau mulai menaruh hati padanya?”
“Tidak mak, hanya saja dia terlihat seperti orang baik, tutur katanya juga sopan.”
“Dia memang terlihat baik” Mak Buyung terdiam sesaat, kemudian melanjutkan pembicaraannya “Tetapi dia sudah punya istri, Dasima. Apa dia tidak mengakuinya padamu?”
Dasima sangat terkejut. Bang Miun tidak pernah mengatakan apapun  tentang istri pertamanya.
“Mak hanya tidak rela kamu jadi istri keduanya, apa kamu siap menanggung resiko sebagai istri kedua? Apa kata orang nanti, bagaimana dengan perasaan istri pertama Miun?”
              Bang Miun. Begitu orang-orang menyapanaya. Laki-laki kaya namun kekayaannya adalah hasil kerja istrinya, Hayati namanya. Dia dikirim oleh Miun menjadi seorang TKI ke Arab Saudi. Hampir 7 tahun lamanya dia menjadi TKI dan hasil kerja kerasnya selalu dikelola oleh sumainya, Miun. Tak banyak yang tahu pernikahan Miun dan Hayati, begitupula dengan Dasima sepertinya dia juga tidak tahu pernikahan Miun dan Hayati yang memang terkesan ditutup-tutupi oleh Miun. Sepanjang malam Dasima memikirkan semua kata-kata Mak Buyung. Dalam hatinya tak menyangka bahwa Bang Miun seperti itu, mengapa dia tak bercerita tentang keberadaan istrinya. “Benar-benar bodoh, mengapa aku harus menjadi yang kedua? Aku tidak dilahirkan hanya untuk menjadi istri kedua mu, Bang” Dasima merenungkan semuanya.
          Tanpa sepengetahuan Mak Buyung, beberapa hari yang lalu sebelum Miun datang ke rumah Dasima, mereka sempat bertemu di jembatan seberang desa. Miun ingin membenarkan kabar yang Dasima dengar dari warga desa bahwa dia ingin menikahi Dasima. Namun Dasima belum memberikan jawaban apa-apa. Dia tidak mau mengambil keputusan tanpa membicarkannya dengan Mak Buyung. Dasima waktu satu minggu untuk menjawab, jika Miun bersedia menunggu maka mereka akan bertemu kembali di tempat yang sama.                                                                    
               Satu minggu kemudian... Dasima datang lebih dulu di jembatan itu. Sambil merangkai kata yang akan dia ucapkan pada Miun.
“Sudah menunggu lama?” suara Miun memecah keheningan.
“Tidak Bang, aku baru saja datang.”
“Tidak terasa satu minggu telah berlalu, lantas bagaimana nasibku?” Miun memulai pembicaraan.
“Apakah aku akan kau jadikan istri kedua mu, Bang?”
“Istri kedua? Mengapa kau bicara seperti itu?”
“Kau sudah menikah dan istrimu bekerja di luar negeri, mengapa kau tidak ceritakan padaku?”
“Istri pertama atau istri kedua sama saja dan aku pikir kau tak akan keberatan akan hal itu, meskipun jadi istri kedua kau akan mendapatkan kemewahan dariku, apa itu semua tidak cukup?”
“Bukan itu yang aku inginkan. Hanya saja aku dan istrimu itu sama-sama seorang wanita. Mana mungkin aku mau berbahagia diatas penderitaan orang lain.”
“Itu omong kosong, istriku tidak pernah mempermasahkan perkara aku ingin memiliki istri kedua.”
“Jelas saja itu omong kosong, atau bahkan dia tidak tahu kau ingin menikahiku.”
“Baiklah kalau begitu, sekarang apa yang kau inginkan?”
“Aku hanya tidak ingin menjadi yang kedua.” Mereka terdiam.
            Miun pergi menjauh dari jembatan, meninggalkan Dasima sendiri. Entah apa yang membuat Dasima tak bergeming sedikitpun dari tempatnya berdiri. Kata-kata itu masih terngiang di telinganya. Apa yang telah diucapkan Miun sebelum meninggalkan Dasima di jembatan membuat dirinya terkejut. “Dasima, kau terlalu angkuh. Asal kau tahu saja aku bisa mendapatkan seribu Dasima yang mau menjadi istri keduaku.”