Sang
Kades
          Pagi
itu kantor kepala desa telah menjadi lautan manusia. Warga desa Bobot Lor
berkumpul di halaman untuk menyaksikan pengundian nomor urut calon kepala desa
yang baru. Tepatnya satu bulan lagi desa Bobot Lor akan memiliki kepala desa
baru, para calon telah terjaring menjadi tiga orang yaitu Pak Didi, Pak Bowo
dan Pak Yanto. Pendukung masing-masing calon meneriakkan slogan mereka. Nomor
urut 1 adalah Pak Didi, dia adalah pemilik ternak paling banyak di desa ini.
Nomor urut 2 Pak Yanto dia tidak memiliki ternak namun Pak Yanto tersebut mempunyai
puluhan warung sate yang tersebar di sekitar desa Bobot Lor dan yang terakhir
Pak Bowo, seorang SarjanaTeknik, anak orang kaya di desa tersebut.
      Diantara
ketiga calon tersebut Pak Bowo merupakan yang termuda. Istri Pak Bowo bernama
Lastri dan mereka mempunya seorang anak yaitu Pambudi.
“Bu,
ternyata bapak mendapatkan nomor urut 3.” Teriak Pambudi.
“Benarkah?
Darimana kau tahu, Bud?”
“Aku
mendengar dari mang Dartim, dia baru saja pulang dari kantor kepala desa, bu.”
“Tapi
kenapa bapakmu belum pulang juga?”
“Aku
pun tak tahu bu, mungkin sebentar lagi. Ibu tunggu saja di rumah jangan pergi
kemana-mana”
          Istri Pak Bowo menunggu kedatangan
suaminya tersebut. Gelisah dan khawatir dirasakan oleh Bu Lastri, dia mondatr
mandir di ruang tengah seraya mengintip jendela kalau saja suaminya segera
datang. Tak lama kemudian terdengar...
“Hidup
nomor 3... hidup nomor 3...” teriak para pendukung Pak Bowo yang mulai memasuki
halaman rumahnya.
Banyak
simpatisan yang menggembar gemborkan semangat untuk calon nomor urut 3. Maklum
saja para simpatisan tersebut tidak benar-benar mendukung tanpa balasan, namun
mereka telah dijanjikan pula bayaran oleh Pak Bowo. Entah berapa banyak uang
yang telah dikeluarkan Pak Bowo untuk upah para pendukungna tersebut, anggap
saja uang tersebut sebagai uang makan dan uang keringat yang telah
mendukungnya.
          Mendengar suara gaduh di luar, istri
Pak Bowo langsung menghampiri suaminya tersebut. 
“Pak,
bagaimana hasilnya?”
“Nomor
3 bu.” Jawab Pak Bowo sambil menunjukkan 3 jari pada istrinya.
“Lantas
bagaiman dengan kampanye bapak nanti?”
“Tenang
bu tidak perlu khawatir, itu urusan nanti. Lebih baik sekarang Ibu siapkan saja
makanan dan minuman yang banyak untuk para tamu kita.”
“Baiklah
kalau begitu akan segera Ibu siapkan.”
“Oh
iya bu, jangan lupa ambilkan 100 lembar amplop dikamar.”
“Apa
tidak terlalu banyak, nanti kita bisa kehabisan modal jika setiap harinya saja
hampi 100 amplop bapak bagikan pada mereka.”
“Sudahlah
bu, jangan banyak bicara, lakukan saja apa kata bapak.” Pak Bowo jengkel.
          Dengan sedikit marah pada suaminya
tersebut, Bu Lastri segera mengambil 100 lembar amplop yang diminta suaminya.
Pak Bowo sudah mulai terobsesi menjadi seorang kepala desa bahkan dia telah
dibutakan oleh sanjungan dan kata-kata manis dari para simpatisannya, sehingga
dia selalu memberikan apa yang diminta pendukungnya yang berjanji untuk
memenangkan dirinya sebagi kepala desa Bobot Lor yang baru.
      Sebenarnya Pak Bowo telah memiliki
segalanya dalam hidupnya, mulai dari pendidikan, pekerjaan, dan kekayaan. Namun
entah mengapa dia berniat untuk mencalonkan dirinya sebagai kepala desa,
padahal pekerjaannya sudah sangat menjamin kehidupannya bersama keluarga. Tidak
perlu menjadi pejabat hidup Pak Bowo sudah hidup sangat berkecukupan segalanya.
Sosok Pak Bowo sebelumnya tidak banyak yang mengenal, kebanyakan warga dari
Bobot Lor sendiri tidak mengenal secara dekat bagaimana kepribadian Pak Bowo.
Namun banyak rumor beredar bahwa itu semua karena Pak Bowo tak pernah mau
berkumpul atau sekadar berbincang-bincang bersama warga desa. Dia dikenal
sebagai orang yang tak mau bersosialisasi dengan warga misalnya saja Pak Bowo
tidak pernah mengikuti kegiatan kerja bakti, tidak pernah pula megikuti
musyawarah desa yang diadakan setiap bulannya dengan alasan dia sibuk dengan
pekerjaannya dan aktivitasnya di luar kota.
         Banyak warga yang bertanya-tanya
mengapa Pak Bowo ingin menjadi kepala desa. Sepertinya rumor tersebut terdengar
sampai ke telinga Pak Bowo.
“Darmin,
pokoknya aku tidak mau tahu masalah ini harus segera diatasi.” Perintah Pak
Bowo kepada anak buahnya tersebut.
“Baik
pak, akan saya atasi. Orang-orang seperti itu diberi amplop yang cukup juga
pasti akan berhenti bicara.”
“Beri
saja, yang penting citra buruk ku yang sekarang sedang dibicarakan warga segera
hilang. Kau harus membuat aku menjadi sosok yang baik, Dar.”
“Siap,
laksanakan pak.”
“Oh
iya satu hal lagi, coba kau cari tahu kapan ada kerja bakti di desa. Akau harus
datang agar warga dapat menyaksikan bahwa aku bukan orang yang tidak bisa
bersosialisasi.” Ucap Pak Bowo dengan mantap.
“Bapak
yakin? Bukannya Pak Bowo paling benci acara kumpul-kumpul seperti itu karena
cuma buang-buang waktu saja.”
“Mau
bagaimana lagi Dar, aku harus melakukannya untuk membangun kesan yang baik sebagai
calon kepala desa.”
“Tidak
perlu repot-repot seperti itu pak, beri saja mereka uang dan makanan yang cukup
pasti mereka akan sangat senang.”
“Kamu
pikir semua warga desa ini orang bodoh? Banyak pula yang tidak mau di suap
dengan uang, Dar. Mereka orang-orang yang katanya telah mengerti demokrasi.”
“Oh
begitu pak, baiklah saya akan melaksanakan tugas dari bapak.”
“Bagus,
setelah semua selesai cepat kembali dan laporkan hasilnya kepadaku.”
Dartim
meninggalkan rumah Pak Bowo. Setelah beberapa saat Pak Bowo mulai memikirkan
strategi agar dirinya menang dalam pemilihan nanti. “Waktu kampanye terbuka
akan segera tiba, aku harus mengumpulkan sebanyak mungkin masa yang akan
mendukungku nanti, sepertinya sekarang aku harus mulai aktif dalam kegiatan
warga.”
        Perubahan drastis terjadi pada Pak
Bowo akhir-akhir ini, dia menjadi lebih ramah pada setiap orang. Didampingi
Dartim, anak buahnya tersebut Pak Bowo selalu datang pada setiap undangan dari
warga, undangan pernikahan, khitanan bahkan Pak Bowo akan selalu hadir disetiap
acara yang diadakan di desa. Begitupula dengan istri Pak Bowo yang sekarang
lebih merakyat karena tuntutan suaminya tersebut.
“Bu,
jangan lupa kita harus datang ke pernikahan anaknya Pak RT Karno.” Kata Pak
Bowo.
“Iya
pak, ibu sudah tahu. Lagipula bapak sudah berapa puluh kali mengingatkan .”
“Wajar
kan bapak mengingatkan karena kita harus selalu hadir diacara-acara seperti
ini, biar warga desa bisa melihat kiat, bu.”
“Ibu
mengerti pak, tapi tolong jangan lakukan semua kebaikan ini hanya untuk menarik
simpati orang-orang.”
“Kamu
ini bagaimana bu, semuanya agar bapak dipilih oleh mereka. Lagipula mereka
sudah banyak menerima amplop-amplop dari kita maka sudah sewajarnya mereka
memilih bapak nantinya.”
“Memangnya
bapak begitu yakin mereka akan memilih bapak? Kita kan tidak tahu pak, bisa
saja mereka menyanjung-nyanjung bapak hanya untuk mendapatkan uang dari kita.”
“Tidak
mungkin, bapak yakin bu bahwa mereka para pendukung kita pasti akam memenangkan
bapak menjadi kepala desa.”
“Sudahlah
terserah bapak saja.”
       Tidak terasa sudah mendekati tanggal
dimana pemilihan kepala desa Bobot Lor akan segera dilaksanakan. Masing-masing
calon telah melaksanakan kampanye sesuai dengan jadwalnya, semuanya berjalan
sebagimana mestinya. Sebentar lagi desa Bobot Lor akan mendapatkan pemimpin
baru. Semua calon telah mengeluarkan banyak tenaga dalam pesta rakyat ini.
“Besok
adalah hari penentuan, Dar.” Ucap Pak Bowo pada Dartim.
“Iya
pak, saya yakin bapak pasti menang.”
“Pastilah,
aku sudah mengeluarkan banyak uang dan tenaga untuk sampai disini. Aku bisa
rugi jika akhirnya tidak menang.”
“Iya
saya mengerti pak, namun sepertinya sekarang kita dalam posisi bahaya.”
“Bahaya?
Apa maksudmu?”
“Maaf
pak saya mendengar bahwa malam ini akan ada gempuran tersembunyi dari calon nomor
urut 1, banyak warga yang bilang mereka akan diberi uang jajan  dari Pak Didi.”
“Astaga,
lantas apa yang sekarang harus kita lakukan? Kalau seperti itu aku bisa kalah
saing, Dar.”
“sepertinya
kita juga harus melakukan serangan fajar, pak.”
“apalagi
itu serangan fajar? Bicaralah dengan jelas jangan kau gunakan istilah-istilah
yang aku tidak mengerti.” Pak Bowo mulai panik.
“Begini
pak maksudnya kita juga harus membagikan amplop periode terakhir pagi-pagi
sekali sebelum matahari terbit, kita datangi rumah-rumah warga dan kita berikan
yang lebih banyak dari calon lainnya.”
“Apa
cara seperti itu akan berhasil, Dar?”
“Pasti
berhasil pak, hari gini siapa sih orang yang tidak silau dengan uang, apalagi
datangnya secara cuma-cuma.”
“Baiklah
kalau begitu, lakukan rencanamu tapi awas jangan sekali-kali kau mencoba untuk
mengkhianati kepercayaan yang telah aku berikan.”
“Siap,
pak. Bapak bisa percayakan semuanya pada saya.”
     Tepat pukul 07:00 WIB tempat
pemungutan suara dibuka. Warga desa Bobot Lor mulai berdatangan untuk
menyalurkan hak pilih mereka, tak terkecuali dengan calon kepala desa Bobot Lor
yang akan menyalurkan hak pilih mereka. Masing-masing calon datang bersama
dengan keluarga dan pendukung mereka masing-masing. Semua orang terlihat
berlalu-lalang disekitar TPS menunggu proses penghitungan suara dimulai siang
nanti. Sesuai jadwal TPS ditutup pukul 13:00 WIB maka setelah itu proses
penghitungan suara bisa dilaksanakan.
      “Hidup nomor 1... hidup nomor 1...”
terdengar begitu keras merayakan kemenangan nomor urut 1, Pak Didi terpilih
menjadi kepala desa yang baru. 
       Mendapati dirinya kalah, Pak Bowo
jatuh pingsan dan tak sadarkan diri. Semua keluarganya turut bersedih atas kekalahan
Pak Bowo. Setelah sadar Pak Bowo tak henti-hentinya berteriak mengungkapkan
kekesalannya. Semakin parah dengan kenyataan bahwa dia telah ditipu oleh anak
buahnya sendiri, Dartim tidak pernah membagikan uang pada warga semuanya dia
ambil tak tersisa, serangan fajar yang dia rencanakan bersama Pak Bowo
sebenarnya tak pernah dia lakukan, dia membawa lari uang tersebut. Pak Bowo
telah kehilangan banyak uang secara percuma karena orang kepercayaannya
sendiri.
“Dartim...
akan ku bunuh kau!” Pak Bowo mengamuk.