Selasa, 02 Desember 2014

Cerpen Sosial

Sang Kades

          Pagi itu kantor kepala desa telah menjadi lautan manusia. Warga desa Bobot Lor berkumpul di halaman untuk menyaksikan pengundian nomor urut calon kepala desa yang baru. Tepatnya satu bulan lagi desa Bobot Lor akan memiliki kepala desa baru, para calon telah terjaring menjadi tiga orang yaitu Pak Didi, Pak Bowo dan Pak Yanto. Pendukung masing-masing calon meneriakkan slogan mereka. Nomor urut 1 adalah Pak Didi, dia adalah pemilik ternak paling banyak di desa ini. Nomor urut 2 Pak Yanto dia tidak memiliki ternak namun Pak Yanto tersebut mempunyai puluhan warung sate yang tersebar di sekitar desa Bobot Lor dan yang terakhir Pak Bowo, seorang SarjanaTeknik, anak orang kaya di desa tersebut.
      Diantara ketiga calon tersebut Pak Bowo merupakan yang termuda. Istri Pak Bowo bernama Lastri dan mereka mempunya seorang anak yaitu Pambudi.
“Bu, ternyata bapak mendapatkan nomor urut 3.” Teriak Pambudi.
“Benarkah? Darimana kau tahu, Bud?”
“Aku mendengar dari mang Dartim, dia baru saja pulang dari kantor kepala desa, bu.”
“Tapi kenapa bapakmu belum pulang juga?”
“Aku pun tak tahu bu, mungkin sebentar lagi. Ibu tunggu saja di rumah jangan pergi kemana-mana”
          Istri Pak Bowo menunggu kedatangan suaminya tersebut. Gelisah dan khawatir dirasakan oleh Bu Lastri, dia mondatr mandir di ruang tengah seraya mengintip jendela kalau saja suaminya segera datang. Tak lama kemudian terdengar...
“Hidup nomor 3... hidup nomor 3...” teriak para pendukung Pak Bowo yang mulai memasuki halaman rumahnya.
Banyak simpatisan yang menggembar gemborkan semangat untuk calon nomor urut 3. Maklum saja para simpatisan tersebut tidak benar-benar mendukung tanpa balasan, namun mereka telah dijanjikan pula bayaran oleh Pak Bowo. Entah berapa banyak uang yang telah dikeluarkan Pak Bowo untuk upah para pendukungna tersebut, anggap saja uang tersebut sebagai uang makan dan uang keringat yang telah mendukungnya.
          Mendengar suara gaduh di luar, istri Pak Bowo langsung menghampiri suaminya tersebut.
“Pak, bagaimana hasilnya?”
“Nomor 3 bu.” Jawab Pak Bowo sambil menunjukkan 3 jari pada istrinya.
“Lantas bagaiman dengan kampanye bapak nanti?”
“Tenang bu tidak perlu khawatir, itu urusan nanti. Lebih baik sekarang Ibu siapkan saja makanan dan minuman yang banyak untuk para tamu kita.”
“Baiklah kalau begitu akan segera Ibu siapkan.”
“Oh iya bu, jangan lupa ambilkan 100 lembar amplop dikamar.”
“Apa tidak terlalu banyak, nanti kita bisa kehabisan modal jika setiap harinya saja hampi 100 amplop bapak bagikan pada mereka.”
“Sudahlah bu, jangan banyak bicara, lakukan saja apa kata bapak.” Pak Bowo jengkel.
          Dengan sedikit marah pada suaminya tersebut, Bu Lastri segera mengambil 100 lembar amplop yang diminta suaminya. Pak Bowo sudah mulai terobsesi menjadi seorang kepala desa bahkan dia telah dibutakan oleh sanjungan dan kata-kata manis dari para simpatisannya, sehingga dia selalu memberikan apa yang diminta pendukungnya yang berjanji untuk memenangkan dirinya sebagi kepala desa Bobot Lor yang baru.
      Sebenarnya Pak Bowo telah memiliki segalanya dalam hidupnya, mulai dari pendidikan, pekerjaan, dan kekayaan. Namun entah mengapa dia berniat untuk mencalonkan dirinya sebagai kepala desa, padahal pekerjaannya sudah sangat menjamin kehidupannya bersama keluarga. Tidak perlu menjadi pejabat hidup Pak Bowo sudah hidup sangat berkecukupan segalanya. Sosok Pak Bowo sebelumnya tidak banyak yang mengenal, kebanyakan warga dari Bobot Lor sendiri tidak mengenal secara dekat bagaimana kepribadian Pak Bowo. Namun banyak rumor beredar bahwa itu semua karena Pak Bowo tak pernah mau berkumpul atau sekadar berbincang-bincang bersama warga desa. Dia dikenal sebagai orang yang tak mau bersosialisasi dengan warga misalnya saja Pak Bowo tidak pernah mengikuti kegiatan kerja bakti, tidak pernah pula megikuti musyawarah desa yang diadakan setiap bulannya dengan alasan dia sibuk dengan pekerjaannya dan aktivitasnya di luar kota.
         Banyak warga yang bertanya-tanya mengapa Pak Bowo ingin menjadi kepala desa. Sepertinya rumor tersebut terdengar sampai ke telinga Pak Bowo.
“Darmin, pokoknya aku tidak mau tahu masalah ini harus segera diatasi.” Perintah Pak Bowo kepada anak buahnya tersebut.
“Baik pak, akan saya atasi. Orang-orang seperti itu diberi amplop yang cukup juga pasti akan berhenti bicara.”
“Beri saja, yang penting citra buruk ku yang sekarang sedang dibicarakan warga segera hilang. Kau harus membuat aku menjadi sosok yang baik, Dar.”
“Siap, laksanakan pak.”
“Oh iya satu hal lagi, coba kau cari tahu kapan ada kerja bakti di desa. Akau harus datang agar warga dapat menyaksikan bahwa aku bukan orang yang tidak bisa bersosialisasi.” Ucap Pak Bowo dengan mantap.
“Bapak yakin? Bukannya Pak Bowo paling benci acara kumpul-kumpul seperti itu karena cuma buang-buang waktu saja.”
“Mau bagaimana lagi Dar, aku harus melakukannya untuk membangun kesan yang baik sebagai calon kepala desa.”
“Tidak perlu repot-repot seperti itu pak, beri saja mereka uang dan makanan yang cukup pasti mereka akan sangat senang.”
“Kamu pikir semua warga desa ini orang bodoh? Banyak pula yang tidak mau di suap dengan uang, Dar. Mereka orang-orang yang katanya telah mengerti demokrasi.”
“Oh begitu pak, baiklah saya akan melaksanakan tugas dari bapak.”
“Bagus, setelah semua selesai cepat kembali dan laporkan hasilnya kepadaku.”
Dartim meninggalkan rumah Pak Bowo. Setelah beberapa saat Pak Bowo mulai memikirkan strategi agar dirinya menang dalam pemilihan nanti. “Waktu kampanye terbuka akan segera tiba, aku harus mengumpulkan sebanyak mungkin masa yang akan mendukungku nanti, sepertinya sekarang aku harus mulai aktif dalam kegiatan warga.”
        Perubahan drastis terjadi pada Pak Bowo akhir-akhir ini, dia menjadi lebih ramah pada setiap orang. Didampingi Dartim, anak buahnya tersebut Pak Bowo selalu datang pada setiap undangan dari warga, undangan pernikahan, khitanan bahkan Pak Bowo akan selalu hadir disetiap acara yang diadakan di desa. Begitupula dengan istri Pak Bowo yang sekarang lebih merakyat karena tuntutan suaminya tersebut.
“Bu, jangan lupa kita harus datang ke pernikahan anaknya Pak RT Karno.” Kata Pak Bowo.
“Iya pak, ibu sudah tahu. Lagipula bapak sudah berapa puluh kali mengingatkan .”
“Wajar kan bapak mengingatkan karena kita harus selalu hadir diacara-acara seperti ini, biar warga desa bisa melihat kiat, bu.”
“Ibu mengerti pak, tapi tolong jangan lakukan semua kebaikan ini hanya untuk menarik simpati orang-orang.”
“Kamu ini bagaimana bu, semuanya agar bapak dipilih oleh mereka. Lagipula mereka sudah banyak menerima amplop-amplop dari kita maka sudah sewajarnya mereka memilih bapak nantinya.”
“Memangnya bapak begitu yakin mereka akan memilih bapak? Kita kan tidak tahu pak, bisa saja mereka menyanjung-nyanjung bapak hanya untuk mendapatkan uang dari kita.”
“Tidak mungkin, bapak yakin bu bahwa mereka para pendukung kita pasti akam memenangkan bapak menjadi kepala desa.”
“Sudahlah terserah bapak saja.”
       Tidak terasa sudah mendekati tanggal dimana pemilihan kepala desa Bobot Lor akan segera dilaksanakan. Masing-masing calon telah melaksanakan kampanye sesuai dengan jadwalnya, semuanya berjalan sebagimana mestinya. Sebentar lagi desa Bobot Lor akan mendapatkan pemimpin baru. Semua calon telah mengeluarkan banyak tenaga dalam pesta rakyat ini.
“Besok adalah hari penentuan, Dar.” Ucap Pak Bowo pada Dartim.
“Iya pak, saya yakin bapak pasti menang.”
“Pastilah, aku sudah mengeluarkan banyak uang dan tenaga untuk sampai disini. Aku bisa rugi jika akhirnya tidak menang.”
“Iya saya mengerti pak, namun sepertinya sekarang kita dalam posisi bahaya.”
“Bahaya? Apa maksudmu?”
“Maaf pak saya mendengar bahwa malam ini akan ada gempuran tersembunyi dari calon nomor urut 1, banyak warga yang bilang mereka akan diberi uang jajan  dari Pak Didi.”
“Astaga, lantas apa yang sekarang harus kita lakukan? Kalau seperti itu aku bisa kalah saing, Dar.”
“sepertinya kita juga harus melakukan serangan fajar, pak.”
“apalagi itu serangan fajar? Bicaralah dengan jelas jangan kau gunakan istilah-istilah yang aku tidak mengerti.” Pak Bowo mulai panik.
“Begini pak maksudnya kita juga harus membagikan amplop periode terakhir pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, kita datangi rumah-rumah warga dan kita berikan yang lebih banyak dari calon lainnya.”
“Apa cara seperti itu akan berhasil, Dar?”
“Pasti berhasil pak, hari gini siapa sih orang yang tidak silau dengan uang, apalagi datangnya secara cuma-cuma.”
“Baiklah kalau begitu, lakukan rencanamu tapi awas jangan sekali-kali kau mencoba untuk mengkhianati kepercayaan yang telah aku berikan.”
“Siap, pak. Bapak bisa percayakan semuanya pada saya.”
     Tepat pukul 07:00 WIB tempat pemungutan suara dibuka. Warga desa Bobot Lor mulai berdatangan untuk menyalurkan hak pilih mereka, tak terkecuali dengan calon kepala desa Bobot Lor yang akan menyalurkan hak pilih mereka. Masing-masing calon datang bersama dengan keluarga dan pendukung mereka masing-masing. Semua orang terlihat berlalu-lalang disekitar TPS menunggu proses penghitungan suara dimulai siang nanti. Sesuai jadwal TPS ditutup pukul 13:00 WIB maka setelah itu proses penghitungan suara bisa dilaksanakan.
      “Hidup nomor 1... hidup nomor 1...” terdengar begitu keras merayakan kemenangan nomor urut 1, Pak Didi terpilih menjadi kepala desa yang baru.
       Mendapati dirinya kalah, Pak Bowo jatuh pingsan dan tak sadarkan diri. Semua keluarganya turut bersedih atas kekalahan Pak Bowo. Setelah sadar Pak Bowo tak henti-hentinya berteriak mengungkapkan kekesalannya. Semakin parah dengan kenyataan bahwa dia telah ditipu oleh anak buahnya sendiri, Dartim tidak pernah membagikan uang pada warga semuanya dia ambil tak tersisa, serangan fajar yang dia rencanakan bersama Pak Bowo sebenarnya tak pernah dia lakukan, dia membawa lari uang tersebut. Pak Bowo telah kehilangan banyak uang secara percuma karena orang kepercayaannya sendiri.

“Dartim... akan ku bunuh kau!” Pak Bowo mengamuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar